[ad_1]
Serangan Israel ke Palestina hingga Senin (6/11) setidaknya sudah merenggut 9.770 nyawa. Di antara banyak nyawa itu, terseliplah nama pemain sepakbola.
Mohammed, pemain klub Shabab Rafah, tewas pada 11 Oktober silam. Merujuk laporan Aljazeera, pemain berusia 38 tahun tersebut ditemukan di reruntuhan puing bangunan dan celana klub yang ia bela masih dikenakannya.
Musim 2023/2024, Mohammed harusnya akan bermain bersama adiknya, Hazem Alrekhawi yang akan kembali membela Shabab Rafah setelah sepuluh musim bermain untuk klub-klub Tepi Barat. Shabab Rafah merupakan salah satu klub yang berada di Gaza. Di akhir musim 2023/24, Mohammed rencananya akan pensiun sebagai pemain sepakbola.
Akibat bombardir Israel, sepakbola Palestina ditangguhkan sementara sejak 7 Oktober lalu. Tim Nasional (Timnas) Palestina pun harus berkandang di luar negaranya karena sangat tidak memungkikan menggelar pertandingan di tanah Palestina.
Banyaknya pemain yang tewas, dihentikannya liga, hingga Timnas Palestina yang harus bermain di luar negaranya adalah efek jangka panjang dari konflik yang dimulai dari awal abad 20 itu.
Intervensi Israel dalam Pembentukan Federasi Sepakbola di Palestina
Sepakbola di Palestina populer karena diperkenalkan melalui sekolah-sekolah pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Pasca Perang Dunia I, Inggris menduduki wilayah Palestina dan sepakbola pun makin berkembang dengan berdirinya berbagai klub olahraga.
Namun, menggeliatnya sepakbola di Palestina juga bersamaan dengan kedatangan orang-orang Yahudi ke negara tersebut. Mereka pun menggunakan olahraga untuk merepresentasikan golongan orang-orang Yahudi, seperti dibentuknya klub bernama Maccabi, serta mengibarkan bendera yang bermuatan Zionisme.
Pada 1925, ketua klub Maccabi, Josef Yekutieli mencoba bergabung dengan FIFA. Namun, FIFA menolak usulan tersebut karena Maccabi tidak mewakili sebuah negara. Pada 1928, Yekutieli menginisiasi pendirian Palestine Football Association atau PFA, dengan tidak hanya melibatkan perwakilan Yahudi, namun juga perwakilan dari kelompok Arab. Cara ini berhasil membuat FIFA mengakui keanggotaan PFA pada 1929.
Keanggotaan klub-klub Yahudi dalam PFA menjadi semakin dominan dan orang-orang Arab Palestina semakin tidak mempunyai suara dalam organisasi tersebut. PFA mempersulit klub-klub Arab di Palestina untuk bertanding dengan klub dari luar negara tersebut.
Pada 1938, saat sekretaris klub Arab Sports Club (ASC), Khadr Kamal, mengadukan hal ini ke FIFA, organisasi tertinggi sepakbola dunia itu justru menyuruh PFA untuk memberi izin kepada klub Arab yang ingin bermain dengan klub dari luar negara. Hal ini membuat orang-orang Palestina yang terdiri dari kelompok Islam dan Kristen mendirikan Arab Palestinian Sports Federation (APSF).
Namun, APSF tidak terlalu kuat dan bubar. Menurut Issam Khalidi dalam penelitiannya yang berjudul Sports and Aspirations: Football in Palestine 1900-1942, klub olahraga menjadi sasaran pemerintah Inggris karena bisa mengorganisir pemuda yang berkaitan dengan Revolusi 1936 – sebuah revolusi menentang pendudukan Inggris. Selain itu, sepakbola dianggap tidak terlalu penting bagi pemuda-pemuda yang terlibat dalam revolusi tersebut.
Asosiasi olahraga Palestina kembali berdiri pada 1944 dengan nama The Arab Palestine Sports Federation (APSF). APSF mencoba bergabung dengan FIFA dengan bantuan dari federasi Suriah dan Mesir yang mendesak adanya federasi baru yang mewakili Palestina. Dalam kinerjanya, APSF pun menjalankan programnya dengan cukup baik.
APSF membagi Palestina ke dalam enam wilayah, yakni Yerusalem, Jaffa, Nablus, Gaza, Galilea, dan Haifa. APSF mengorganisir liga di enam wilayah tersebut, di mana masing-masing pemenang akan saling bertanding untuk memperebutkan juara utama. Keanggotaan APSF pun makin banyak dengan bergabungnya klub-klub Arab di berbagai wilayah. Atas hal ini, PFA mencoba merayu klub-klub tersebut untuk bergabung dengan PFA.
Di sisi lain, para pengurus atau pemain yang tergabung dengan APSF juga menjadi pasukan dalam upaya menentang Zionisme. Pemain tim nasional saat itu, Zaki al-Darhali, tewas dalam serangan kelompok Zionis di gedung pusat pelayanan sosial di Jaffa. Pemain yang beroperasi sebagai sayap kiri itu tewas bersama rekannya, Sa‘id Shunayr, yang menjabat sebagai sekretaris APSF.
Setelah Israel dideklarasikan pada 1948, olahragawan Palestina tetap menggunakan olahraga sebagai ajang pengakuan dari dunia internasional dengan mengikuti kejuaraan internasional seperti Pan Arab Games (PAG). Pada 1962, Palestina kembali mengajukan diri menjadi anggota FIFA, namun ditolak. Meski FIFA menolak, saat itu asosiasi olahraga lain seperti basket, tenis meja, serta atletik amatir mengakui Palestina sebagai anggotanya.
Di tahun 1960an, sepakbola Palestina merupakan salah satu tim terbaik di Timur Tengah. Mereka memiliki pemain-pemain hebat seperti Ibrahim Elmughrabi, Fuad Abu Ghaida, dan Marwan Kanafani yang bermain untuk Al-Ahly di Mesir. Elmughrabi adalah pencetak sejarah. Ia merupakan pemain asing pertama yang bermain di Liga Yunani saat menandatangani kontrak dengan AEK Athens pada 1962.
Pada 1969, Palestinian Liberation Organization (PLO), membentuk The Supreme Council for Youth Welfare (SCYW), yang salah satu tujuannya adalah agar Palestina lebih banyak mendapat pengakuan dunia internasional. Salah satu tuntutan SCYW adalah agar Israel dikeluarkan dari keanggotaan AFC. Hasilnya adalah pada 1974, Israel resmi dikeluarkan dari keanggotaan AFC dan baru bergabung dengan UEFA pada 1991.
Palestina secara resmi menjadi anggota FIFA pada 1998. Momen ini, menurut Bassil Mikdadi, jurnalis sekaligus pendiri Football Palestine, adalah momen yang menjadikan Palestina menjadi bangsa seperti bangsa lainnya.
“Itu tidak mudah karena kami harus berjuang selama 70 tahun untuk mendapatkan pengakuan FIFA,” kata Mikdadi kepada Pandit Football.
“Jadi mendapatkan tim yang matang pada tahun 1998 dan melihat mereka berkembang hingga mencapai posisi sekarang adalah sebuah pencapaian besar dan tentu saja mengirimkan pesan kepada dunia bahwa kami masih ada dan berhak untuk bebas.”
Liga Palestina dan Pemain yang Bermain di Luar Negeri
Saat ini, di Palestina, bergulir liga dengan nama West Bank Premier League yang digelar di Tepi Barat. Liga ini diikuti oleh 12 tim, di mana juaranya akan bermain di AFC Cup. Melansir data dari RSSSF, Liga ini mulai dihelat pada musim 1976/1977 dan menjadi liga yang dilangsungkan setelah Israel didepak dari AFC.
Di Gaza, liga baru bergulir pada 1984/1985. Namun, West Bank Premier League menjadi liga yang banyak dipilih oleh pemain Palestina daripada liga Gaza. Mikdadi mengatakan kompensasi bagi pemain yang bermain di West Bank Premier League lebih baik dibanding mereka yang bermain di Gaza.
Klub-klub West Bank Premier League pun menyumbang banyak pemain bagi timnas Palestina, seperti Musab Al Battat (Shabab Al-Dhahiriya), Mousa Farawi (Shabab Al Khalil), Mohammed Khalil, Oday Kharoub, dan Samer Jundi (Hilal Al-Quds), serta Mohammed Yameen dan Sameh Maarab (Jabal Al-Mukaber).
Di sisi lain, banyak pemain Palestina yang bermain di luar negeri. Di Liga 1, ada Jonathan Cantilana yang pernah membela PSIS Semarang. Musim ini, Mohamed Rashid yang pernah membela Persib Bandung pada musim 2021/2022, bermain untuk Bali United.
Rashid sangat vokal terhadap isu kemanusiaan di negaranya. Di media sosial Instagram pribadinya, Rashid kerap menyampaikan solidaritasnya kepada para korban serangan Israel.
Saat masih membela Persib, ia bahkan menolak berfoto di belakang banner “Stop War”, sebuah pesan untuk menghentikan perang di Ukraina. Ia mengatakan bahwa ia tidak mendukung terjadinya perang di Ukraina dan ia juga tidak mendukung Rusia.
“Tetapi bagi saya ketika berdiri di belakang banner antiperang ketika terjadi perang di Eropa, tetap ketika kami mencoba melakukan hal yang sama, tentang semua hal yang terjadi di Palestina selama bertahun-tahun, mereka bilang itu ilegal dan melanggar peraturan FIFA. Mencampur sepakbola dan politik, kami tidak boleh melakukan itu,” ujar Rashid kepada Goal (11/3/2022).
Beberapa pemain Palestina selain Rashid yang bermain di luar negeri adalah Ataa Jaber (Neftchi Baku – Azerbaijan), Tamer Seyam (PT Prachuap – Thailand), serta Mahmoud Wadi (Tala’ea El Gaish – Mesir). Seperti Rashid, mereka pun tetap bersolidaritas kepada negaranya meski berkarier di luar negeri.
Sepakbola adalah alat yang membuat mereka bisa keluar dari Palestina. Bagi Wadi, misalnya, sepakbola adalah hal yang mampu membawanya keluar dari Gaza. Ia mengenang banyak pemain yang dulu menjadi kawan atau lawan di Palestina kini sudah meninggal.
“Sepak bola membantu saya keluar dari Gaza dan merupakan tanggung jawab kami untuk berusaha mewakili Palestina sebaik mungkin,” kata Wadi dilansir dari Aljazeera.
Namun demikian, Khalil Jadallah, pengamat sepakbola Palestina menganggap bahwa situasi perang akan berpengaruh terhadap performa tim Palestina. Menurutnya, pemain yang kemungkinan bisa memperkuat Palestina di masa mendatang telah banyak yang terbunuh.
Jadallah juga menyoroti Palestina yang tidak bisa bermain di negara sendiri saat akan menjamu Australia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 pada 21 November mendatang.
“Kurangnya keunggulan sebagai tuan rumah akan berdampak besar pada skuad melawan tim kuat seperti Australia. [Palestina] juga perlu menemukan cara untuk mengatasi pergulatan mental yang mereka hadapi selama perang,” kata Jadallah dilansir dari AlJazeera.
Di babak kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026, Palestina tergabung di grup I bersama Australia, Bangladesh, dan Lebanon. Di grup I ini, ranking Palestina masih berada di atas Lebanon dan Bangladesh.
Palestina pun diunggulkan untuk lolos ke babak ketiga sekaligus lolos ke putaran final Piala Asia 2027, yang akan membuat mereka tidak pernah absen sejak edisi 2015.
[ad_2]
Source link