[ad_1]
Liga Indonesia sudah mendekati akhir musim. Liga 1 menyambut pekan ke-25 dan Liga 2 akan menjalani babak semifinal yang menentukan promosi. Sampai sejauh ini, isu gaji masih saja menjadi kasus yang berulang.
Pada awal Februari, kasus gaji pemain klub Liga 2 Kalteng Putra ditunggak. Pemain lalu menyuarakan keterlambatan hak mereka di media sosial, tetapi malah dipolisikan atas pencemaran nama baik. Aksi mogok yang mereka lakukan pun berlanjut di persidangan Komite Disiplin (Komdis) PSSI.
Akibat tidak bertanding kontra PSCS Cilacap, Komdis PSSI lalu menjatuhkan sanksi kalah 0-3, pengurangan 9 poin, denda Rp500 juta, dan teguran keras untuk pemain. Sementara untuk ketidakhadiran pemain di laga melawan Persekat Tegal, klub diberi sanksi larangan melakukan pendaftaran pemain sampai kewajiban denda dan pembayaran gaji pemain selesai, penyitaan sisa subsidi PT LIB yang perhitungan dan pembayarannya akan dilakukan oleh PT LIB.
Sebelum itu, pelatih PSM Makassar, Bernardo Tavares, juga pernah membicarakan masalah penunggakan gaji yang melanda anak asuhnya dan staf tim yang lain. Pelatih asal Portugal itu sempat mengeluhkan persiapan tim terhambat akibat hak yang belum ditunaikan. Bahkan dia pernah melelang koleksi pribadinya untuk membantu masalah keuangan ofisial Juku Eja.
Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) yang dapat mewakili untuk memperjuangkan hak-hak pemain pun sudah bersuara. Rilis terakhir di laman resminya (26/1) menyatakan bahwa APPI menerima 44 laporan pesepakbola dari 7 klub Liga 2 musim ini. Laporan yang masuk meliputi penunggakan gaji, pemutusan kontrak sepihak, pemutusan kontrak karena cedera, pemotongan gaji karena cedera, tidak bertanggung jawab atas perlindungan pemain yang cedera, dan ketidaktahuan peraturan perekrutan pemain asing.
Riza Hufaida, legal officer APPI, mengatakan kepada redaksi Pandit Football bahwa laporan resmi yang masuk kebanyakan dari pemain Liga 2 dan Liga 3. Sementara laporan dari Liga 1 masih sebatas konsultasi, belum sampai memberikan kuasa kepada APPI untuk menindak secara hukum.
Dilansir dari Jawa Pos, pada akhir putaran pertama Liga 1, APPI pernah mengungkap setidaknya ada lima klub Liga 1 yang menunggak gaji. Jumlah tersebut baru yang melapor, di luar itu lebih banyak klub bermasalah, tetapi dipendam saja oleh para pemainnya.
Keengganan pemain melapor mayoritas karena menghindari masalah internal dengan manajemen. Bagi para pemain Liga 1 yang digaji relatif tinggi, mereka mempertimbangkan sisa gaji periode pembayaran sebelumnya masih cukup untuk hidup. Mereka berpikir lebih baik menahan diri dengan uang yang tersisa daripada mencari perkara dengan manajemen klub.
Beberapa kasus gaji pemain, melalui APPI, sudah diproses secara hukum. Bahkan sudah ada yang ditangani National Dispute Resolution Chamber (NDRC), badan arbitrase yang berwenang untuk menangani persengketaan di sepakbola. Namun, setelah melalui mekanisme hukum sekalipun, belum tentu masalah tersebut selesai, apalagi untuk menjaminnya tidak berulang di musim selanjutnya.
Padahal keinginan dan tekad untuk menyudahi permasalahan gaji selalu disuarakan menjelang sepak mula liga setiap musim. Semboyan “tidak ada toleransi bagi klub yang menunggak gaji” pun senada dengan ucapan penyelenggara liga. Lalu mengapa lagu lama tersebut masih terdengar? Apakah pengawasan kepada partisipan liga Indonesia kurang?
Menurut Ali Mahrus, pengamat sepakbola dan jurnalis Jawa Pos, masalah tidak terletak pada pengawasan, melainkan ketegasan PSSI selaku federasi dan PT LIB selaku operator liga. Bagaimanapun, keduanya pasti sudah tahu kondisi klub–termasuk soal keuangan–melalui pengecekan. Seandainya sejak dulu PSSI dan PT LIB tegas menegakkan profesionalisme kompetisi, tidak akan ada berita penunggakan gaji di tengah jalan.
Dari awal kan, liga (PT LIB) tahu. Mereka pasti mengecek kesiapan stadion, dan soal kesiapan lain. Kalo dari awal sudah ada tanda-tanda itu (klub tidak siap), mestinya ya sudah (jangan diloloskan ikut kompetisi). Hampir tiap musim pasti ada klub yang belum melunasi gaji musim sebelumnya, Tapi PSSI dan liga tetap memberikan kesempatan untuk ikut kompetisi. Mungkin klubnya janji, ‘Kita akan lunasi nanti’ dan segala macem,” ujar Ali kepada Pandit Football (8/2).
Dilansir dari laman resmi PT LIB (6/9/2023), mengenai hal tersebut, Direktur Utama Ferry Paulus menjelaskan pihaknya bersikap tegas terhadap klub yang masih bersengketa dengan pemain. Ferry juga mengatakan sudah melakukan beberapa kali teguran. “Sampai hari ini tersisa 8 klub dan tidak ada lagi kompromi untuk masalah ini. Jika belum menyelesaikan, maka kami memotong dari uang kontribusi Liga kepada klub,” kata Ferry.
Sementara itu, kabar terbaru di laman PSSI mengenai hasil sidang Komdis Kalteng Putra (13/2), menjatuhkan sanksi larangan pendaftaran pemain, denda, kewajiban penyelesaian gaji pemain, dan penyitaan sisa subsidi dari PT LIB kepada klub. Selain itu, Erick Thohir selaku Ketua Umum PSSI mewacanakan regulasi salary cup, dimulai pada musim 2024/2025.
Masalahnya sikap serupa pernah ditunjukkan musim lalu dan musim-musim sebelumnya. Namun tetap saja ada masalah penunggakan gaji. Artinya sanksi, keputusan, dan ketegasan yang sudah diberikan PSSI dan PT LIB belum menyentuh akar permasalahan dari carut-marut pengelolaan finansial klub.
Ali Mahrus kemudian menyampaikan bahwa ujung permasalahan terletak pada pengelolaan klub yang jauh dari kata profesional. Jika digali lagi lebih dalam, sesungguhnya klub-klub di Indonesia tidak siap berkompetisi secara profesional dan untuk menjadi profesional harus ada lisensi.
“Lisensi itu kan ada beberapa poin yang harus dipenuhi. Harus sehat secara keuangan, harus punya akademi, dan lain lain-lain. Lisensi klub atau aturan-aturan mesti diterapkan dengan ketat. Klub-klub kita mayoritas belum dikelola secara profesional. Ada, tapi sedikit sekali,” ungkap Ali.
Bicara soal profesional, Ali menyebutkan contoh konkrit yang bisa dilihat. Misalnya Bali United, yang sudah masuk lantai bursa saham dan punya emiten di Bursa Efek Indonesia. Begitu pula dengan Persib Bandung, Persebaya Surabaya, dan Persija Jakarta yang sudah dinaungi perseroan terbatas (PT).
Jika memang federasi dan liga mau betul-betul tegas mengeliminasi semua klub yang belum siap secara profesional, pastinya peserta Liga 1 tidak sampai 18 klub. Apalagi jika menilik kesiapan klub-klub Liga 2, pasti banyak yang tidak diizinkan berkompetisi di liga profesional.
Akan tetapi jumlah partisipan yang sedikit seharusnya bukan halangan untuk menjalankan liga profesional. Untuk memenuhi syarat minimal tanding dalam satu musim dari FIFA, tidak mesti lewat jumlah tim. “Bisa dibikin sistem double round robin, jadi dua klub bisa bertemu sampai empat kali dalam semusim. Mengatur dan menerapkan aturan kepada tim yang benar-benar siap sesuai club licensing juga lebih mudah,” jelas Ali menjawab masalah ini.
Sementara untuk Liga 3 yang tidak berstatus profesional, pengelolaan bisa dilakukan oleh Asosiasi Provinsi atau Kota/Kabupaten setempat. Dengan demikian, klub amatir dan semipro punya wadah sendiri untuk bersaing. Begitu pula dengan klub-klub yang belum siap profesional.
Sayangnya selama ini PSSI dan PT LIB selalu permisif dan toleran pada klub-klub yang tidak memenuhi syarat profesional. “Selalu membawa-bawa nama football family, ya sudah kita selesaikan secara kekeluargaan. Itu yang jadi biang kerok. Ya begini-begini saja, tidak ada perubahan,” kata Ali.
“Gak harus mencontoh Liga Eropa. Jepang dan Korea juga kejauhan. Aku mencontohkan dalam tulisan di Jawa Pos, Kelantan FC yang musim ini gak boleh ikut Premier League di Malaysia karena sempat nunggak gaji. Kasus serupa di Indonesia, tim basket Mountain Gold Timika gak boleh ikut IBL (Indonesian Basketball League),” tambah Ali.
Belum lagi bicara masalah politisasi sepakbola, salah satu penghambat transformasi klub menjadi profesional. Tampak dari profil pengelola klub yang mayoritas merupakan politisi. Niat mengelola klub sepakbola hanya dijadikan komoditas untuk mendongkrak suara mereka di kontestasi politik.
Pada akhirnya akar permasalahan gaji adalah keseriusan PSSI dan PT LIB mengelola liga. Klub-klub yang memang belum siap profesional, tidak seharusnya diizinkan mengikuti Liga 1 dan Liga 2. Dalam kata lain, syarat mutlak keikutsertaan klub dalam kompetisi profesional mesti sejalan seperti namanya. Bukan karena nama besar klub, bukan pula karena sejarah panjangnya.
[ad_2]
Source link