[ad_1]
Pada Rabu (29/3), Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, bertemu Presiden FIFA, Gianni Infantino, di Qatar. Pertemuan itu akhirnya membuahkan keputusan bahwa Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.
Sekembalinya ke Indonesia, Erick membawa surat dari Infantino yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo.
Erick, dalam konferensi persnya pada Jumat (31/3), mengaku setelah mendapat surat dari FIFA, Presiden Jokowi langsung memerintahkannya untuk membuat cetak biru transformasi sepakbola Indonesia, serta kembali membuka pembicaraan dengan FIFA agar Indonesia tetap menjadi member FIFA, dengan kata lain agar Indonesia tak menerima sanksi.
“Bapak Presiden menekankan ini (cetak biru transformasi sepakbola Indonesia) harus segera selesai dan harus segera disampaikan kepada FIFA,” ujar Erick.
Soal potensi sanksi, Erick mengaku akan bernegosiasi agar Indonesia bisa menghindari sanksi FIFA. “Saya akan bekerja keras untuk kembali bernegosiasi kepada FIFA untuk menghindari sanksi yang bisa terjadi, karena dari FIFA sendiri tentu mengharapkan hal-hal ini tidak terjadi, tetapi tentu kalau kita lihat dari suratnya, itu jelas bahwa FIFA sedang mempelajari dan mempertimbangkan sanksi untuk Indonesia. Saya kembali menunggu undangan kembali dari FIFA.”
Erick juga menilai jika Indonesia menerima sanksi, itu merupakan sebuah kemunduran karena sebelumnya sepakbola Indonesia pernah mendapatkannya.
“Sanksi terberat yang tidak kita harapkan, kalau kita tidak bisa ikut kompetisi secara maksimal di seluruh dunia, sebagai tim nasional atau sebagai klub. Juga ini akan menjadi sebuah kemunduran buat sepakbola Indonesia dan itu sebenarnya sudah pernah terjadi di tahun 2015,” terang Erick.
Dalam kesempatan yang sama, pria yang juga menjabat sebagai Menteri BUMN tersebut juga mengatakan bahwa prioritas saat ini adalah terkait sanksi FIFA dan peta jalan sepakbola Indonesia, bukan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034 atau Olimpiade 2036.
“Saya rasa hari ini kita jangan berpikir terlalu jauh dengan mimpi-mimpi 2034 ada Piala Dunia ada Olimpiade (2036) yang kemarin juga di G20 disampaikan Presiden IOC Thomas Bach dan Indonesia. Saya rasa mungkin dengan berat hati ya kita bicara penyelesaian (pembatalan tuan rumah) ini dulu, karena itu (Piala Dunia 2034 dan Olimpiade) sesuatu yang saya rasa belum menjadi sebuah hal yang prioritas hari ini,” ujar Erick.
Baca Juga:
Respons Jokowi
Lewat konferensi pers yang ditayangkan melalui Youtube Sekretariat Presiden pada Kamis (30/3) malam WIB, Jokowi mengaku kecewa atas dibatalkannya Indonesia menjadi tuan rumah.
“Saya tahu keputusan ini membuat banyak masyarakat kecewa. Saya pun sama merasakan hal itu, kecewa dan sedih. Tapi jangan menghabiskan energi untuk saling menyalahkan satu sama lain dan sebagai bangsa yang besar kita harus melihat ke depan, jangan ke belakang,” kata Jokowi.
Jokowi juga memerintahkan Erick Thohir untuk berupaya semaksimal mungkin agar Indonesia tidak terkena sanksi, termasuk kesempatan untuk menjadi tuan rumah event-event lainnya.
Setelah pembatalan ini, tampaknya sulit bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah event-event olahraga yang melibatkan banyak peserta dari seluruh dunia.
Menurut Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Veteran Jawa Timur, Ario Bimo Utomo, pembatalan ini tak akan banyak berpengaruh pada segi politik internasional secara umum, tapi jelas ia akan berdampak kepada legitimasi Indonesia sebagai negara olahraga.
Menurut Ario ajang olahraga internasional seperti Piala Dunia U-20 bukan hanya sekadar kompetisi, tapi juga sebagai peningkat soft power atau daya tawar di mata internasional. Negara-negara yang sukses menggelar ajang internasional, papar Ario, akan dianggap sebagai negara yang kapabel dan punya legitimasi.
“Itu kenapa banyak negara berlomba-lomba menjadi tuan rumah. Efek (pembatalan tuan rumah) lebih banyak ke legitimasi Indonesia sebagai sporting country, khususnya sepakbola. Di bidang olahraga, ini adalah insiden yang akan lumayan mencoreng soft power kita,” terang Ario kepada redaksi Panditfootball.
[ad_2]
Source link