[ad_1]
Perdebatan naturalisasi pesepakbola lagi-lagi menjadi topik hangat setiap mendekati jadwal pertandingan tim nasional Indonesia. Sejak dijalankan kembali tahun 2010, naturalisasi dianggap dapat mendongkrak performa timnas. Lebih tepatnya usai Cristian Gonzales berpaspor Indonesia, naturalisasi jadi semakin lumrah. Begitu pula dengan harapan bahwa pemain asing yang memindahkan status kebangsaan mereka, akan berkontribusi seapik El Loco kala membela skuad Garuda.
Seiring berjalanya waktu, terjadi pergeseran asal pemain naturalisasi. Selama Shin Tae-yong menangani timnas, naturalisasi banyak menyasar pemain muda keturunan yang saat ini berkarir atau menjajaki karir di luar negeri. Berbeda dengan sebelumnya, para pemain yang mengambil sumpah berbangsa Indonesia kebanyakan berasal dari pemain asing yang lama berdomisili di Indonesia. Bahkan mekanisme ganti kewarganegaraan kerap dimanfaatkan klub-klub liga lokal menyiasati kuota pemain dalam negeri terpenuhi.
Jika menoleh ke belakang, ada pemain seperti Diego Michiels dan Kim Kurniawan, yang menjadi andalan di klub namun tidak cukup sukses mengoleksi caps skuad Garuda. Ada pula pemain-pemain naturalisasi yang bahkan tidak pernah menembus skuad utama timnas, contohnya Fabiano Beltrame, Herman Dzumafo, dan Jhonny van Beukering. Belum lagi pemain lain yang mungkin namanya sudah luput dari ingatan, bahwa mereka pernah mengambil sumpah Warga Negara Indonesia (WNI).
Jadi bisa dibilang, program naturalisasi era Shin Tae-yong–yang teken kontrak Desember 2019–lebih ambisius dengan memilih pemain muda yang diproyeksi punya karir panjang, berdarah Indonesia meski lahir dan berkarir di luar negeri, serta fokus untuk keperluan timnas tanah air.
Total ada sebelas pemain keturunan yang sudah dan mendekati akhir proses naturalisasi selama era kepelatihan juru taktik asal Korea Selatan tersebut. Mereka adalah Marc Klok, Sandy Walsh, Jordi Amat, Shayne Pattynama, Rafael Struick, Justin Hubner, Ivar Jenner, Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-On, dan Maarten Paes; serta Ezra Walian, yang sudah berproses mulai tahun 2017 namun baru rampung tahun 2021. Selain itu, Shin Tae-yong juga pernah memanggil Victor Igbonefo, Ilija Spasojevic, dan Stefano Lilipaly.
Target dari Kementerian Pemuda dan Olahraga
Ada satu kesamaan, dahulu dan kini, kala isu naturalisasi diangkat: perdebatan. Prahara naturalisasi seakan tak ada habisnya menuai dua opini yang saling bertolak belakang. Prioritaskan pemain lokal atau menaturalisasi pemain keturunan dengan asumsi memiliki kualitas lebih baik dari pemain lokal. Hingga timbul kekhawatiran gelombang naturalisasi berpotensi mematikan talenta lokal. Di sisi lain, siapapun tak mengelak fakta bahwa program pembinaan sepakbola dalam negeri masih jauh tertinggal.
Belum lama ini, tepatnya Kamis (21/12/23), PSSI Pers menggelar acara Diskusi Turun Minum bertajuk “Naturalisasi Pemain, Mereduksi atau Memotivasi?” yang diunggah di kanal Youtube Gol Ganti. Ketiga narasumber, yaitu Hamdan Hamedan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Arya Sinulingga dari Komite Eksekutif (Exco) PSSI, dan Tommy Welly selaku pengamat sepakbola, sama-sama sepakat bahwa tidak seharusnya fokus publik menjadi dikotomi antara pemain lokal dan naturalisasi.
Hamdan, yang menjabat sebagai Tenaga Ahli Kemenpora Bidang Diaspora dan Kepemudaan, menekankan pada teknis naturalisasi yang harus memenuhi syarat peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan mekanismenya, Hamdan bertugas mengidentifikasi atlet-atlet diaspora dan berkoordinasi dengan federasi cabang olahraga terkait.
Naturalisasi sendiri didefinisikan sebagai proses hukum yang dilakukan seseorang untuk mengubah status warga negara asing (WNA) menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Sebelum proses itulah peran Kemenpora melakukan tinjauan pemenuhan syarat dari calon atlet naturalisasi. Dalam Diskusi Turun Minum, Hamdan menyebutkan ada 600 atlet diaspora untuk 14 cabang olahraga.
Sebelumnya Hamdan juga pernah berujar tentang database atlet diaspora yang semakin baik. “Setahu saya, inilah kali pertama database atlet diaspora dikerjakan secara terstruktur untuk kemajuan olahraga nasional,” terang Hamdan kepada redaksi Pandit Football dalam keterangan tertulis (15/09/2023).
Hamdan menegaskan proyek naturalisasi berfokus pada kemajuan olahraga nasional. Usai pencarian bakat dan database yang rapi, perhatian berikutnya adalah melihat pemenuhan syarat dari atlet yang bersangkutan. Oleh karena itulah Kemenpora mewajibkan rekomendasi diberikan enam bulan sebelum mereka diproyeksikan membela timnas Indonesia.
Terkait syarat berprestasi, Hamdan menerangkan di hadapan publik yang menghadiri PSSI Pers, “Tafsirnya dilihat dari di liga mana dia bermain. Apakah termasuk top 10 atau top 20 league in the world (liga terbaik di dunia)? Berkompetisi melawan siapa? Apakah bermain di Eredivisie (yang berada di) urutan ke-8 Eropa (UEFA) atau di Belgium urutan ke-7; apakah dia tampil di Europa League, apakah dia tampil di Champions League? Itu kurang-lebih barometernya.”
Lihat juga Segitiga Proyek Naturalisasi: STY, PSSI, Kemenpora, dan Pelajaran dari Jepang
Nandito Ariotedjo, Menteri Pemuda dan Olahraga, mengerucutkan fokus proyek naturalisasi agar tidak lagi dimanfaatkan untuk kepentingan klub semata, apalagi jika dilakukan serampangan. Ada tiga hal yang menjadi fokus Dito, yaitu penataan pada seluruh cabang olahraga; diutamakan pada anak berkewarganegaraan ganda terbatas atau diaspora di bawah umur 17 tahun yang masih sah memegang dua paspor, baru permohonan naturalisasi untuk atlet berdarah Indonesia; dan hanya untuk kepentingan tim nasional.
Selanjutnya Kemenpora telah merancang key performance indicators (KPI)–indikator kunci keberhasilan kinerja–proyek naturalisasi. KPI dari penilaian individu meliputi:
- kemampuan berintegrasi yang baik dan memberikan pengaruh positif kepada tim, dengan kata lain dapat bertukar pengetahuan, mengajarkan kedisiplinan, memberikan motivasi dan etos kerja yang baik;
- kompetensi bermain yang bagus berdasarkan data dan observasi (eye test);
- dan penghargaan individu yang diperoleh, misalnya pemain terbaik di suatu musim.
Sementara KPI dari penilaian tim setelah diperkuat pemain naturalisasi ialah:
- peningkatan performa permainan tim;
- kemampuan untuk mengalahkan lawan yang sebelumnya sulit ditaklukkan;
- dan raihan prestasi berupa trofi, menang kejuaraan, termasuk pula mencapai target yang ditentukan cabang olahraga terkait, misalnya lolos ke fase grup.
Namun di samping itu, Hamdan mengingatkan bahwa naturalisasi hanyalah pelengkap yang diibaratkan sebagai kondimen terakhir dari jargon “4 sehat 5 sempurna”. Aspek “4 sehat” untuk mencapai prestasi timnas yang luar biasa, terdiri dari talenta yang menyukai sepakbola, pelatih yang mumpuni, klub yang menaungi talenta tersebut, dan kompetisi yang kompetitif. Lalu dilengkapi menjadi “5 sempurna” dengan pemain keturunan dan naturalisasi. “Terakhir baru, cherry on top, pemanfaatan tenaga diaspora,” ujar Hamdan.
Belajar dari pelatih timnas Maroko, Walid Regragui, yang menganut prinsip yang sama. Pembinaan, fasilitas terbaik, dan talenta diaspora, disebutnya sebagai alasan Maroko melaju sampai semifinal Piala Dunia 2022, sebuah sejarah bagi tim berjulukan Singa Atlas itu. Dapat digarisbawahi di sini, pembinaan dan fasilitas tak luput dari tonggak kesuksesan timnas, sebagaimana “4 sehat 5 sempurna” yang disebut Hamdan.
“Yang tidak kalah penting, tim nasional adalah muara dari pemain terbaik dunia yang eligible (memenuhi syarat) membela Indonesia, baik dia lahir di dalam maupun luar negeri. Sinergikan talenta Indonesia dan diaspora untuk timnas yang lebih berprestasi,” tutup Hamdan mengakhiri pemaparannya di diskusi PSSI Pers.
Evaluasi Program Naturalisasi
Hingga menjelang Piala Asia 2023, data dari Transfermarkt menunjukkan ada 12 pemain naturalisasi dan 68 pemain non-naturalisasi yang dipanggil membela timnas di era Shin Tae-yong. Tiga pemain di antaranya sudah rampung dinaturalisasi saat Shin datang. Tiga pemain lain, Nathan, Jay, dan Maarten, yang naturalisasi di periode kepemimpinan Shin, belum pernah merumput bersama skuad Garuda. Adapun Elkan Baggott, seorang pemain diaspora, tidak melalui proses naturalisasi karena dia memilih status WNI di usia 17 tahun.
Memang tidak dipungkiri Shin membawa perubahan positif selama mengarsiteki timnas Indonesia. Catatan impresif yang ditunjukkan dalam 40 laga bersama tim Merah-Putih–dengan 20 kemenangan dan 10 hasil imbang–berbuah kepercayaan dari PSSI dan tentunya masyarakat tanah air. Tidak heran pelatih yang pernah menyabet trofi Liga Champions AFC bersama Seongnam Ilhwa itu bertahan selama 1472 hari sejak resmi menangani timnas Indonesia per 1 Januari 2020.
Catatan tersebut jauh melampaui juru taktik sebelumnya. Dalam dua dekade terakhir, Peter White memegang rekor terlama kedua melatih timnas Indonesia selama 1113 hari (1 Januari 2004 – 18 Januari 2007), namun catatan laganya hanya lima. Dalam rentang waktu itu pula, hanya Alfred Riedl di kali ketiga menukangi Indonesia, yang menembus dua digit jumlah pertandingan, tepatnya sebelas laga dalam 108 hari (1 September – 18 Desember 2016). Bahkan kontrak Luis Milla, yang juga berhasil merebut hati suporter Indonesia, hanya bertahan selama 639 hari (20 Januari 2017–21 Oktober 2018) setelah bertugas di enam laga.
Tentunya keistimewaan ini lalu dibarengi dengan optimisme serta keinginan pecinta sepakbola menyaksikan kesebelasannya memenangkan gelar. Paling tidak, ada harapan Shin memuaskan dahaga masyarakat akan trofi Piala AFF yang terakhir kali dimenangkan skuad Garuda di edisi 1990/1991. Sayang Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan dikalahkan Vietnam di semifinal Piala AFF 2022 dan dijegal Thailand di final Piala AFF 2020.
Lihat juga Piala Asia: Ajang Evaluasi Shin Tae-yong
Oase kembali terlihat usai Shin membawa Indonesia ke Piala Asia 2023 di Qatar. Tidak tanggung-tanggung, Shin juga meloloskan timnas U-23 dan U-20 ke Piala Asia kategori usia masing-masing, meski timnas U-20 gugur di fase grup.
Secercah harapan lalu muncul dan kini kian menuntut, untuk menyaksikan anak asuh Shin melaju ke babak gugur Piala Asia 2023. Apalagi bisa dikatakan PSSI telah memenuhi semua permintaan Shin, termasuk strateginya yang gencar soal naturalisasi. Maka tidak mungkin tidak, jika tujuh dari sebelas pemain yang dinaturalisasi berdasarkan keputusan Shin akan menjadi sorotan publik.
Di tengah segala perdebatan soal naturalisasi, Shin perlahan melakukan perbaikan yang signifikan, terutama dalam peningkatan kualitas tim secara kolektif. Di awal kepelatihan, terjadi kesenjangan antara pemain yang merumput di liga lokal dengan pemain yang berkarir di luar negeri. Terutama dalam keterampilan teknik, tingkat intelegensi, dan mental. Kesenjangan ini tentu berdampak secara kolektif. Seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan perbaikan skuad, kesenjangan perlahan dapat disamarkan dengan mengombinasikan pemain-pemain tersebut dalam porsi yang tepat.
Lihat juga Kedisiplinan, Shin Tae-yong, dan Masalah Klasik Sepakbola Indonesia
Pemain naturalisasi juga diharapkan mampu meningkatkan kualitas individu pemain non-naturalisasi. Jika kembali ke KPI yang dirancang Kemenpora, parameter individu boleh dibilang hampir terpenuhi, dengan kemampuan berintegrasi, bertukar pengaruh positif, dan kompetensi yang mumpuni di atas lapangan. Begitu pula dengan satu poin peningkatan performa tim pada parameter penilaian tim. Tinggal tersisa pemenuhan poin KPI yang berhubungan dengan pencapaian dan gelar.
Pertanyaan selanjutnya, apakah memang naturalisasi menjadi faktor yang signifikan mendongkrak permainan timnas?
Berdasarkan data yang dihimpun dari Transfermarkt, tidak terlihat pengaruh jumlah pemain naturalisasi yang diturunkan terhadap performa tim. Dari tabel di atas tampak pemain naturalisasi yang diturunkan Shin semakin bertambah setiap tahun–yang tentu sebanding dengan jumlah total pemain eks-WNA yang sudah mengantongi paspor Indonesia. Tetapi persentase kemenangannya menunjukkan fluktuasi (naik-turun).
Berdasarkan data tersebut, peningkatan kualitas skuad Merah-Putih selama Shin melatih turut dipengaruhi faktor lain yang perlu diperhitungkan dan tidak cukup mengevaluasi naturalisasi saja. Evaluasi terhadap Shin sebagai pelatih juga harus disinggung. Puncaknya ajang Piala Asia 2023 inilah yang menjadi tolak ukur keberhasilan Shin, termasuk proyek naturalisasi yang telah menuai pro kontra di kalangan suporter.
Namun perlu diingat, penilaian terhadap keberhasilan tim nasional harus berimbang. Bagaimanapun timnas merupakan hasil dari kompetisi dan pembinaan yang semuanya di bawah tanggung jawab federasi. Proyek naturalisasi hanyalah solusi jangka pendek. Jangan sampai melupakan fondasi dan berbagai hal-hal fundamental lain seperti pembinaan, piramida kompetisi, dan sebagainya.
Arya Sinulingga, Komite Eksekutif PSSI, menyinggung kinerja federasi di Diskusi Turun Minum oleh PSSI Pers. Arya menyampaikan bahwa kini PSSI sedang berupaya memperbaiki permasalahan rumit dan kompleks yang dialami persepakbolaan Indonesia, mulai dari wasit, kompetisi, dan tidak ketinggalan pembinaan–yang sayangnya sulit dikawal karena peta jalan PSSI belum sampai ke publik.
“Naturalisasi bukan shortcut (jalan pintas) untuk prestasi. Makanya kita di PSSI melakukan pembenahan. Ada hal-hal prinsipil yang harus kita benahi. Artinya satu persatu harus ditransformasi. Kami (PSSI) kan baru 9-10 bulan di sini, tapi kami berusaha memperbaiki. Kami akan perbaiki semua. Kemenpora support-nya oke banget untuk proses naturalisasi. Tapi jangan lagi dikotomi lah.” terang Arya, dilansir dari kanal Youtube Gol Ganti (21/12/23).
Pada akhirnya, Piala Asia 2023 akan menjadi momen penting dalam menilai sejauh mana Shin membentuk timnas Indonesia. Bukan hanya tentang sejauh mana Indonesia melangkah, tapi juga sekokoh apa fondasi yang terbentuk. Tentu akan lebih sulit untuk menilainya (kekokohan fondasi) tapi kita harus pelan-pelan memberi penilaian secara kualitatif. Jangan sampai terlalu mendewakan ketika target lolos grup atau lebih tercapai. Jangan pula mendikotomikan status pemain, karena sejatinya semua pemain berjuang atas nama Indonesia.
Lihat juga Jika Kompetisinya Baik, Timnasnya Juga Baik
[ad_2]
Source link